SELAMAT DATANG DI BLOG RESMI PONDOK PESANTREN DARUS SHOLAH Design By MUNUS

Selamat Datang di Kafe Ilmu - Sarana berbagi ilmu - by munus2011

Selasa, 26 April 2011

MENCARI JATI DIRI YANG HILANG


“Mencari Jati Diri yang Hilang”, judul yang janggal bagi sebagian orang dan boleh jadi termasuk anda. Pernakah anda menonton film berjudul “The Last Samurai”, film berlatar sejarah Jepang yang dibintangi artis Hollywood bernama Tom Cruise?
Berbicara sejarah, aku termasuk orang yang suka membaca buku maupun artikel dan atau menonton film yang ada latar belakang sejarahnya. Menurut aku, sejarah tidak hanya memuat lakon orang-orang besar atau pun persitiwa-peritwa besar yang terjadi di masanya, namun lebih jauh dari itu, sejarah menyimpan memori kuat yang berisi informasi penting bagi generasi yang akan datang.
Islam adalah agama yang sangat peduli pada sejarah. Hal ini dapat dilihat dari isi kandunag Al-Qur’an yang menjadi kitab rujukan kita. Kitab yang diturunkan Allah Rabb Pencipta semesta raya. Informasi yang termuat di dalamnya banyak yang berbicara seputar sejarah umat-umat terdahulu, namun tidak layak bagi kita mengatakan bahwa Al-Qur’an kitab sejarah. ALLAH SWT berfirman, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 111).
“The Last Samurai” adalah film yang mengambil setting Jepang pada masa lampau, masa dimana Jepang sedang berevolusi menuju sebuah negara maju yang modern. Evolusi ini ditandai dengan beralihnya penggunaan Samurai, baik Samurai dalam pengertian senjata khas bangsa Jepang, maupun Samurai dalam pengertian pasukan elit Jepang di masa lampau kepada penggunaan pasukan dan persenjataan modern yang menggunakan senjata api bermesin. Ringkasnya, proses evolusi itu kemudian menjadi bom waktu bagi para Samurai, karena Sang Menteri pada waktu itu mengambil kebijakan untuk membubarkan pasukan elit ini dan melarang penggunaan Samurai di seluruh wilayah Jepang.
Kontan, kebijakkan ini mengundang perlawan dari para Samurai, sehingga terjadilah pertempuran sengit antara para ksatria Samurai dengan para pasukan Jepang modern, dengan hasil akhir kekalahan telak pihak Samurai. Yang tersisa dari mereka hanyalah seorang pejuang yang belum lama membersamai mereka.
Ketika berita ini sampai ke telinga Sang Kaisar, beliau sangat menyesalkan terjadinya peristiwa tersebut. Namun yang menarik untuk dikutip di sini adalah statement akhir dari Sang Kaisar, bahwa Jepang boleh saja menjadi negara yang maju dan modern, namun Jepang tak boleh kehilangan akar budaya yang telah menjadi warisan leluhur mereka selama ratusan tahun, termasuk Samurai.
Pernyataan akhir Sang Kaisar di atas adalah sumber inspirasi bagi Bangsa Jepang untuk membangun masyarakat yang maju dan modern tanpa mengindahkan nilai-nilai budaya yang dianutnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya fakta bahwa Jepang adalah salah satu negara maju di dunia dengan akar budaya yang masih melekat kuat di dalam benak dan kehidupan rakyatnya.
Penyimpangan Paham Kemodernan
Okey…, sekarang kita masuk ke inti pembahasan tulisan ini. Saya ingin ilustrasi di atas menjadi bahan refleksi bagi umat Islam, terkhusus generasi mudanya. Kita adalah umat yang memiliki Islam yang tak hanya berperan sebagai akar budaya, namun juga sebagai system dan tata nilai dalam kehidupan kita sehari-hari. 
Posisi Islam sebagai system dan tata nilai sebenarnya lebih kuat dan kokoh dibandingkan Jepang yang dalam pemikiran penulis hanya memiliki akar budaya tanpa menutup mata akan aqidah bathil mereka. Namun yang aneh adalah, tangan-tangan imperialis Barat dalam wujud paham materialisme, liberalisme dan kapitalisme yang bersembunyi di balik topeng peradaban modern mampu mengikis, mencabut dan menjauhkan sebagian besar umat Islam di hampir seluruh bagian dunia, terkhusus Indonesia dari akar budaya, system dan tata nilainya yaitu Islam.
Umat saat ini mengganggap bahwa segala yang datang dari Barat adalah produk kemodernan apapun itu. Pemahaman modern yang substansial seperti metode berfikir ilmiah, tata hidup yang teratur, kedisiplinan dan lain-lain dalam maknanya yang positif bergeser pada pola pemahaman kemodernan dalam bentuk symbol dan tampilan fisik.
Bayangkan, seorang pemuda muslim dianggap modern jika punya tato, bertindik dan berambut pirang dengan celana levis robek di lutut padahal minim prestasi akademik dan bahkan putus sekolah. Anehnya lagi, nilai-nilai yang dahulu dianggap primitif dan tertinggal, justru pada hari ini menjadi sesuatu yang dianggap maju dan modern. Buktinya, banyak wanita yang mengaku modern pada hari ini, termasuk para wanita Islam merasa bangga dengan pakaiannya yang seksi yang menampakkan sebagian besar aurat yang harusnya ditutup.
Dan bahkan, tata nilai peradaban Barat yang justru jauh menyimpang melampaui produk jahiliah musyrikin Makkah sebelum datangnya Islam, juga dianggap sebagai bagian dari kemodernan. Sebut saja freesex, homosex dan lesbianisme, aborsi, pornografi dan pornoaksi, kekerasan versi smackdown, penyembahan harta, tahta, dan wanita serta produk-produk jahiliah abad 21 lainnya menjadi trend center di kalangan sebagian besar remaja muslim saat ini. Perayaan tahun baru masehi dan Valentine’s Day mengalahkan gema syiar peringatan hari-hari besar Islam yang terkurung “lingkaran setan”, orang-orang yang sudah tua bangkotan bau tanah dan takut mati.
Jika pemahaman kemodernan terbatas pada konsep di atas, lalu apa bedanya kita dengan kehidupan binatang yang menganut paham “permisifisme dan liberalisme”, paham serba boleh tanpa ikatan, paham kapitalisme yang menindas mereka yang lemah tak bermodal, dan paham materialisme yang menjadikan materi sebagai penentu segala-galanya.
    Tidakkah pemahaman di atas justru menjadikan manusia memiliki derajat rendah, dan bahkan lebih rendah dari binatang. Dunia hari ini menjadi saksi bahwa Amerika menuju kehancurannya di masa yang akan datang karena kehilangan generasi muda yang kuat fisik, akal dan spiritualnya jika tidak mereka sadari dan ubah dari sekarang.
Mencari Jati Diri yang Hilang
Islam bukanlah agama yang anti kemodernan sebagaimana yang dituduhkan selama ini, dan bahkan Islam mendorong dan menjadi pelopor kemodernan dunia saat ini. Modern dalam makna substansi, bukan symbol yang hampa dari nilai-nilai Ilahiyyah dan kemanusiaan yang universal sebagaimana dijabarkan sebelumnya. Sejarah peradaban manusia adalah saksi kebenaran statemen tersebut. Pada saat Eropa sedang terkungkung terali besi takhayul. bid’ah dan khurafat, Islam melalui peran kekhilafahan Islam telah membangun peradabannya modernnya selama berabad-abad. Baghdad, Negeri Seribu Satu Malam adalah mutiara kesusastraan Islam, Andalusia, permata peradaban Islam tak terkalahkan di jantung wilayah Eropa, dan cukuplah Al-Azhar Mesir, universitas tertua di dunia sebagai bukti.
“Mencari Jati Diri yang Hilang”, bermakna mengembalikan umat ini ke akar sejarahnya, akar budayanya, tata nilai dan system kehidupannya yang hakiki yaitu Islam. Para pemuda Islam sudah terlampau lama larut dalam selimut usang pola hidup “modern” ala Barat yang menjauhkan agama dari nilai-nilai kehidupan dan membatasinya pada tataran ibadah dalam makna yang sempit. Pola hidup “modern” ini bukannya mengangkat derajat mereka ke tingkat yang lebih tinggi, namun justru mengucilkan mereka semakin jauh dari pentas peradaban umat manusia.
Tidak ada kemulian bagi seorang Muslim kecuali disandarkan pada nilai-nilai Islam. Adalah ucapan Umar bin Khattab, khalifah kedua kaum Muslimin, “Kalian dahulu adalah manusia yang paling kerdil, hina dan miskin. Maka ALLAH telah memuliakan kalian dengan Islam. Betapapun kalian mengharapkan kemuliaan tanpa Islam, ALLAH akan menghinakan kalian.”[1] Ucapan tersebut disampaikan Sang Khalifah kepada komandan pasukan Islam yang menaklukkan Baitul Maqdis, Abu Ubaidah bin Jarrah yang “terkesan” terpengaruh pada pola hidup para raja-raja Romawi. Lagi-lagi sejarah mencatat dan membuktikan bahwa Umar bin Khattab, dalam kesederhanaannya selaku seorang penguasa adidaya dunia saat itu tetap mulia dihadapan manusia tanpa terpenagruh kehidupan mewah yang semu para raja di masanya.
Nabi Yusuf ‘alaihissalam, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ibnu Taimiyah, Al-Ustadz Sayyid Quthb, Buyya Hamka, Muhammad Natsir dan sederet tokoh Muslim lainnya, tercatat sebagai orang-orang yang mulia dan dihormati dalam sejarah walau mereka pernah menempati sel-sel penjara yang bau dan pengap, tempat tinggal para penjahat. Sejarah tidak mendustai mereka dengan memvonis mereka sebagai orang-orang rendahan jahat penghuni penjara yang layak dihukum. Dan justru sebaliknya, sejarah mempermalukan dan merendahkan para tokoh “mulia” penguasa negeri yang menjebloskan dan menyiksa mereka di dalamnya. Lagi-lagi komitmen para ulama terhadap Islam yang menjadi sebab kemuliaan itu.  “Mencari Jati Diri yang Hilang”, bermakna membangun pribadi dan bangsa yang maju dan modern tanpa kehilangan identitas kita selaku seorang Muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar