SELAMAT DATANG DI BLOG RESMI PONDOK PESANTREN DARUS SHOLAH Design By MUNUS

Selamat Datang di Kafe Ilmu - Sarana berbagi ilmu - by munus2011

Rabu, 27 April 2011

GUNUNG MENANGIS TAKUT TERGOLONG BATU API NERAKA


Pada suatu hari Uqa'il bin Abi Thalib telah pergi bersama-sama dengan Nabi Muhammad s.a.w.. Pada waktu itu Uqa'il telah melihat berita ajaib yang menjadikan tetapi hatinya tetap bertambah kuat di dalam Islam dengan sebab tiga perkara tersebut. Peristiwa pertama adalah, bahawa Nabi Muhammad s.a.w. akan mendatangi hajat yakni mebuang air besar dan di hadapannya terdapat beberapa batang pohon. Maka Baginda s.a.w. berkata kepada Uqa'il, "Hai Uqa'il teruslah engkau berjalan sampai ke pohon itu, dan katalah kepadanya, bahawa sesungguhnya Rasulullah berkata; "Agar kamu semua datang kepadanya untuk menjadi aling-aling atau penutup baginya, kerana sesungguhnya Baginda akan mengambil air wuduk dan buang air besar."

Uqa'il pun keluar dan pergi mendapatkan pohon-pohon itu dan sebelum dia menyelesaikan tugas itu ternyata pohon-pohon sudah tumbang dari akarnya serta sudah mengelilingi di sekitar Baginda s.a.w. selesai dari hajatnya. Maka Uqa'il kembali ke tempat pohon-pohon itu. 
Peristiwa kedua adalah, bahawa Uqa'il berasa haus dan setelah mencari air ke mana pun jua namun tidak ditemui. Maka Baginda s.a.w. berkata kepada Uqa'il bin Abi Thalib, "Hai Uqa'il, dakilah gunung itu, dan sampaikanlah salamku kepadanya serta katakan, "Jika padamu ada air, berilah aku minum!" 
Uqa'il lalu pergilah mendaki gunung itu dan berkata kepadanya sebagaimana yang telah disabdakan Baginda s.a.w. itu. Maka sebelum ia selesai berkata, gunung itu berkata dengan fasihnya, "Katakanlah kepada Rasulullah, bahawa aku sejak Allah s.w.t.  menurunkan ayat yang bermaksud : ("Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu beserta keluargamu dari (seksa) api neraka yang umpannya dari manusia dan batu)." "Aku menangis dari sebab takut kalau aku menjadi batu itu maka tidak ada lagi air padaku." 
Peristiwa yang ketiga ialah, bahawa ketika Uqa'il sedang berjalan dengan Nabi Muhammad s.a.w., tiba-tiba ada seekor unta yang meloncat dan lari ke hadapan Rasulullah s.a.w., maka unta itu lalu berkata, "Ya Rasulullah, aku minta perlindungan darimu." Unta masih belum selesai mengadukan halnya, tiba-tiba datanglah dari belakang seorang Arab kampung dengan membawa pedang terhunus. Melihat orang Arab kampung dengan membawa pedang terhunus, Nabi Muhammad s.a.w. berkata, "Hendak apakah kamu terhadap unta itu ?" 
Jawab orang kampungan itu, "Wahai Rasulullah, aku telah membelinya dengan harta yang mahal, tetapi dia tidak mahu taat atau tidak mau jinak, maka akan kupotong saja dan akan kumanfaatkan dagingnya (kuberikan kepada orang-orang yang memerlukan)." Nabi Muhammad s.a.w. bertanya, "Mengapa engkau menderhakai dia?" Jawab unta itu, "Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak menderhakainya dari satu pekerjaan, akan tetapi aku menderhakainya dari sebab perbuatannya yang buruk. Kerana kabilah yang dia termasuk di dalam golongannya, sama tidur meninggalkan solat Isya'. Kalau sekiranya dia mahu berjanji kepada engkau akan mengerjakan solat Isay' itu, maka aku berjanji tidak akan menderhakainya lagi. Sebab aku takut kalau Allah s.w.t.  menurunkan seksa-Nya kepada mereka sedang aku berada di antara mereka."

Akhirnya Nabi Muhammad s.a.w. mengambil perjanjian orang Arab kampung itu, bahawa dia tidak akan meninggalkan sholat Isya'. Dan Baginda Nabi Muhammad s.a.w. menyerahan unta itu kepadanya. Dan dia pun kembali kepada keluarganya.

TIADA YANG TAHU DATANGNYA KEMATIAN

Berbagai bentuk Malaikat Izrail Mencabut Nyawa
Bila sampai masa kematian, maka Allah SWT mengutus malaikat Maut (Izrail) mencabut roh dari tubuh orang tersebut. Allah SWT berfirman yang bermaksud:
"Dan Dialah yang mempunyai kuasa tertinggi di atas hambaNya. Dan diutusNya, padamu malaikat-malaikat penjaga. Sehingga apabila datang kematian pada salah seorang di antaramu lalu ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kaini, dan malaikat-malaikat Kaini itu tidak melalaikan kewajipannya."(Al-An 'un: 61)
Sekiranya orang yang akan dicabut rohnya itu orang Mukmin yang tidak berdosa, maka malaikat itu datang sebagai seorang yang rupawan. Tetapi jika datang pada orang kafir dan munafik maka mereka mendatanginya dengan rupa yang menakutkan. Bara' bin Azib telah meriwayatkan yang dikutip dalam hadith Sunan Abi Daud, Hakim, Ahmad dan lainnya menyebutkan hal tersebut sebagai berikut:
"Sesunguhnya jika orang Mukmin, maka ketika dia akan keluar dari dunia ini dan menuju alam akhirat, maka dia didatangi malaikat yang turun dari langit dengan muka yang putih berseri. Seolah-olah wajah malaikat itu seperti sinar matahari. Mereka itu membawa kain kafan yang dibawa dari syurga. Juga membawa wangian dari syurga. Malaikat datang sambil duduk sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat Maut dengan duduk di sisi kepalanya. Malaikat itu mengatakan:
"Hai nafas yang baik (tenang), keluarlah anda sekarang dengan mendapatkan ampunan dari Allah dan kerelaanNya." Kemudian keluarlah roh itu seperti mengalirnya sebuah titisan yang berasal dari satu minuman, kemudian malaikat itu mengambil roh itu.
"Dan sesungguhnya jika orang yang akan dicabut itu roh orang yang kafir, (dalam riwayat yang lain: orang yang "fajir" artinya penjahat, penzina atan pendusta) maka ketika orang itu di dunia lalu dia didatangi malaikat yang turun dari langit (yang keadaannya kejam dan kasar) dengan rupanya yang hitam. Dengan membawa pakaian berbulu, lalu mereka duduk daripadanya sejauh mata memandang. Lalu Malaikat Maut (Izrail) datang dan duduk di sisi kepalanya, sambil mengatakan, "Hai roh yang jahat, keluarlah engkau sekarang menuju kemurkaan Allah dan kemarahanNya ." Lalu dipisahkan roh itu dari tubuhnya, yang terpisahnya itu laksana dicabutnya bulu basah oleh besi panas (yang kemudian diikuti dengan putusnya keringatnya dan urat sarafnya)." (Lihat Hadith riwayat Hakim, Abu Daud, Ahmad dan lainnya).
Semasa hal itu berlaku, mereka yang hidup berada di sampingnya tidak tahu apa-apa, tidak melihat sesuatu. Perhatikan firman Allah SWT yang bermaksud:
"Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat." (Al- Waqiah: 83-85)
Nabi SAW telah mengungkapkan tentang adanya malaikat maut yang akan memberikan berita gembira kepada mereka yang akan mati sebagai seseorang mukmin dengan janji ampunan Allah serta kecintaanNya. Namun bagi mereka yang kafir atau orang yang jahat (berdosa), bagi mereka dijanjikan pula adanya kemurkaan dan kemarahan Allah kepadanya. Berkaitan janji syurga kepada orang Mukmin yang akan mati telah diterangkan Allah dalam AI-Quran yang artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun pada mereka dengan mengatakan:
Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan beroleh syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia maupun akhirat, yang di dalamnya kamu akan beroleh apa yang kamu inginkan, dan akan memperoleh pula di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan bagimu dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Penyayang." FusshiIat: 30-32)
Firman di atas menurut para ahli tafsir turun berkenaan dengan orang yang akan mati dalam keadaan serba takut dan susah, menghadapi masa akan datangnya kematian. Bahkan takutnya orang-orang yang akan mati kemudian. Dengan ayat ini maka jelaslah bahawa malaikat akan turun padanya nanti pada saat-saat kematiannya dengan berita yang membawa ketenteraman, yang seolah-olah malaikat itu akan mengatakan:

"Janganlah anda susah dalam menghadapi masa akan datang, baik ketika di alam barzakh maupun di akhirat nanti. Juga anda tidak perlu susah tentang keluarga anda, anak-anak anda, maupun hutang-hutang anda." Bahkan diberinya berita dengan janji akan dimasukkan syurga sebagai berita gembira.
Sebaliknya, bagi orang yang kafir maka malaikat berjanji kepada mereka untuk menempatkan mereka di neraka jahannam. Sebagaimana Allah SWT firmankan dalam Al-Quran tentang malaikat yang akan mematikan mereka yang kafir dalam peperangan Badar, seperti dalam ayat yang menyebutkan:
"Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka dan berkata: Rasakanlah olehmu seksa neraka yang membakar. Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali menganiaya hambaNya." (AL-Anfal: 50-51)
Dari firman Allah di atas menunjukkan pada kita bagaimana para malaikat mencabut roh orang yang kafir, maka merupakan suatu cara yang mengerikan; para malaikat itu memukul wajah dan belakang mereka dan malaikat mengatakan; "Rasakanlah engkau sekarang dengan siksaan yang pedih."
Kisah itu berlaku dalam peperangan Badar, namun hal itu boleh terjadi bila-bila masa saja berkaitan masalah yang menyangkut kekafiran; tidak hanya khusus bagi orang-orang kafir dalam perang Badar. Boleh berlaku pada hari ini untuk orang yang kafir


Selasa, 26 April 2011

MENCARI JATI DIRI YANG HILANG


“Mencari Jati Diri yang Hilang”, judul yang janggal bagi sebagian orang dan boleh jadi termasuk anda. Pernakah anda menonton film berjudul “The Last Samurai”, film berlatar sejarah Jepang yang dibintangi artis Hollywood bernama Tom Cruise?
Berbicara sejarah, aku termasuk orang yang suka membaca buku maupun artikel dan atau menonton film yang ada latar belakang sejarahnya. Menurut aku, sejarah tidak hanya memuat lakon orang-orang besar atau pun persitiwa-peritwa besar yang terjadi di masanya, namun lebih jauh dari itu, sejarah menyimpan memori kuat yang berisi informasi penting bagi generasi yang akan datang.
Islam adalah agama yang sangat peduli pada sejarah. Hal ini dapat dilihat dari isi kandunag Al-Qur’an yang menjadi kitab rujukan kita. Kitab yang diturunkan Allah Rabb Pencipta semesta raya. Informasi yang termuat di dalamnya banyak yang berbicara seputar sejarah umat-umat terdahulu, namun tidak layak bagi kita mengatakan bahwa Al-Qur’an kitab sejarah. ALLAH SWT berfirman, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 111).
“The Last Samurai” adalah film yang mengambil setting Jepang pada masa lampau, masa dimana Jepang sedang berevolusi menuju sebuah negara maju yang modern. Evolusi ini ditandai dengan beralihnya penggunaan Samurai, baik Samurai dalam pengertian senjata khas bangsa Jepang, maupun Samurai dalam pengertian pasukan elit Jepang di masa lampau kepada penggunaan pasukan dan persenjataan modern yang menggunakan senjata api bermesin. Ringkasnya, proses evolusi itu kemudian menjadi bom waktu bagi para Samurai, karena Sang Menteri pada waktu itu mengambil kebijakan untuk membubarkan pasukan elit ini dan melarang penggunaan Samurai di seluruh wilayah Jepang.
Kontan, kebijakkan ini mengundang perlawan dari para Samurai, sehingga terjadilah pertempuran sengit antara para ksatria Samurai dengan para pasukan Jepang modern, dengan hasil akhir kekalahan telak pihak Samurai. Yang tersisa dari mereka hanyalah seorang pejuang yang belum lama membersamai mereka.
Ketika berita ini sampai ke telinga Sang Kaisar, beliau sangat menyesalkan terjadinya peristiwa tersebut. Namun yang menarik untuk dikutip di sini adalah statement akhir dari Sang Kaisar, bahwa Jepang boleh saja menjadi negara yang maju dan modern, namun Jepang tak boleh kehilangan akar budaya yang telah menjadi warisan leluhur mereka selama ratusan tahun, termasuk Samurai.
Pernyataan akhir Sang Kaisar di atas adalah sumber inspirasi bagi Bangsa Jepang untuk membangun masyarakat yang maju dan modern tanpa mengindahkan nilai-nilai budaya yang dianutnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya fakta bahwa Jepang adalah salah satu negara maju di dunia dengan akar budaya yang masih melekat kuat di dalam benak dan kehidupan rakyatnya.
Penyimpangan Paham Kemodernan
Okey…, sekarang kita masuk ke inti pembahasan tulisan ini. Saya ingin ilustrasi di atas menjadi bahan refleksi bagi umat Islam, terkhusus generasi mudanya. Kita adalah umat yang memiliki Islam yang tak hanya berperan sebagai akar budaya, namun juga sebagai system dan tata nilai dalam kehidupan kita sehari-hari. 
Posisi Islam sebagai system dan tata nilai sebenarnya lebih kuat dan kokoh dibandingkan Jepang yang dalam pemikiran penulis hanya memiliki akar budaya tanpa menutup mata akan aqidah bathil mereka. Namun yang aneh adalah, tangan-tangan imperialis Barat dalam wujud paham materialisme, liberalisme dan kapitalisme yang bersembunyi di balik topeng peradaban modern mampu mengikis, mencabut dan menjauhkan sebagian besar umat Islam di hampir seluruh bagian dunia, terkhusus Indonesia dari akar budaya, system dan tata nilainya yaitu Islam.
Umat saat ini mengganggap bahwa segala yang datang dari Barat adalah produk kemodernan apapun itu. Pemahaman modern yang substansial seperti metode berfikir ilmiah, tata hidup yang teratur, kedisiplinan dan lain-lain dalam maknanya yang positif bergeser pada pola pemahaman kemodernan dalam bentuk symbol dan tampilan fisik.
Bayangkan, seorang pemuda muslim dianggap modern jika punya tato, bertindik dan berambut pirang dengan celana levis robek di lutut padahal minim prestasi akademik dan bahkan putus sekolah. Anehnya lagi, nilai-nilai yang dahulu dianggap primitif dan tertinggal, justru pada hari ini menjadi sesuatu yang dianggap maju dan modern. Buktinya, banyak wanita yang mengaku modern pada hari ini, termasuk para wanita Islam merasa bangga dengan pakaiannya yang seksi yang menampakkan sebagian besar aurat yang harusnya ditutup.
Dan bahkan, tata nilai peradaban Barat yang justru jauh menyimpang melampaui produk jahiliah musyrikin Makkah sebelum datangnya Islam, juga dianggap sebagai bagian dari kemodernan. Sebut saja freesex, homosex dan lesbianisme, aborsi, pornografi dan pornoaksi, kekerasan versi smackdown, penyembahan harta, tahta, dan wanita serta produk-produk jahiliah abad 21 lainnya menjadi trend center di kalangan sebagian besar remaja muslim saat ini. Perayaan tahun baru masehi dan Valentine’s Day mengalahkan gema syiar peringatan hari-hari besar Islam yang terkurung “lingkaran setan”, orang-orang yang sudah tua bangkotan bau tanah dan takut mati.
Jika pemahaman kemodernan terbatas pada konsep di atas, lalu apa bedanya kita dengan kehidupan binatang yang menganut paham “permisifisme dan liberalisme”, paham serba boleh tanpa ikatan, paham kapitalisme yang menindas mereka yang lemah tak bermodal, dan paham materialisme yang menjadikan materi sebagai penentu segala-galanya.
    Tidakkah pemahaman di atas justru menjadikan manusia memiliki derajat rendah, dan bahkan lebih rendah dari binatang. Dunia hari ini menjadi saksi bahwa Amerika menuju kehancurannya di masa yang akan datang karena kehilangan generasi muda yang kuat fisik, akal dan spiritualnya jika tidak mereka sadari dan ubah dari sekarang.
Mencari Jati Diri yang Hilang
Islam bukanlah agama yang anti kemodernan sebagaimana yang dituduhkan selama ini, dan bahkan Islam mendorong dan menjadi pelopor kemodernan dunia saat ini. Modern dalam makna substansi, bukan symbol yang hampa dari nilai-nilai Ilahiyyah dan kemanusiaan yang universal sebagaimana dijabarkan sebelumnya. Sejarah peradaban manusia adalah saksi kebenaran statemen tersebut. Pada saat Eropa sedang terkungkung terali besi takhayul. bid’ah dan khurafat, Islam melalui peran kekhilafahan Islam telah membangun peradabannya modernnya selama berabad-abad. Baghdad, Negeri Seribu Satu Malam adalah mutiara kesusastraan Islam, Andalusia, permata peradaban Islam tak terkalahkan di jantung wilayah Eropa, dan cukuplah Al-Azhar Mesir, universitas tertua di dunia sebagai bukti.
“Mencari Jati Diri yang Hilang”, bermakna mengembalikan umat ini ke akar sejarahnya, akar budayanya, tata nilai dan system kehidupannya yang hakiki yaitu Islam. Para pemuda Islam sudah terlampau lama larut dalam selimut usang pola hidup “modern” ala Barat yang menjauhkan agama dari nilai-nilai kehidupan dan membatasinya pada tataran ibadah dalam makna yang sempit. Pola hidup “modern” ini bukannya mengangkat derajat mereka ke tingkat yang lebih tinggi, namun justru mengucilkan mereka semakin jauh dari pentas peradaban umat manusia.
Tidak ada kemulian bagi seorang Muslim kecuali disandarkan pada nilai-nilai Islam. Adalah ucapan Umar bin Khattab, khalifah kedua kaum Muslimin, “Kalian dahulu adalah manusia yang paling kerdil, hina dan miskin. Maka ALLAH telah memuliakan kalian dengan Islam. Betapapun kalian mengharapkan kemuliaan tanpa Islam, ALLAH akan menghinakan kalian.”[1] Ucapan tersebut disampaikan Sang Khalifah kepada komandan pasukan Islam yang menaklukkan Baitul Maqdis, Abu Ubaidah bin Jarrah yang “terkesan” terpengaruh pada pola hidup para raja-raja Romawi. Lagi-lagi sejarah mencatat dan membuktikan bahwa Umar bin Khattab, dalam kesederhanaannya selaku seorang penguasa adidaya dunia saat itu tetap mulia dihadapan manusia tanpa terpenagruh kehidupan mewah yang semu para raja di masanya.
Nabi Yusuf ‘alaihissalam, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ibnu Taimiyah, Al-Ustadz Sayyid Quthb, Buyya Hamka, Muhammad Natsir dan sederet tokoh Muslim lainnya, tercatat sebagai orang-orang yang mulia dan dihormati dalam sejarah walau mereka pernah menempati sel-sel penjara yang bau dan pengap, tempat tinggal para penjahat. Sejarah tidak mendustai mereka dengan memvonis mereka sebagai orang-orang rendahan jahat penghuni penjara yang layak dihukum. Dan justru sebaliknya, sejarah mempermalukan dan merendahkan para tokoh “mulia” penguasa negeri yang menjebloskan dan menyiksa mereka di dalamnya. Lagi-lagi komitmen para ulama terhadap Islam yang menjadi sebab kemuliaan itu.  “Mencari Jati Diri yang Hilang”, bermakna membangun pribadi dan bangsa yang maju dan modern tanpa kehilangan identitas kita selaku seorang Muslim.

Sabtu, 23 April 2011

CIRI-CIRI PENDUDUK SURGA


Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan surga bagi hamba-hamba yang beriman dan menciptakan neraka bagi orang-orang kafir. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi dan rasul akhir zaman, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Berikut ini adalah sebagian ciri-ciri dan karakter orang-orang yang dijanjikan oleh Allah mendapatkan surga beserta segala kenikmatan yang ada di dalamnya, yang sama sekali belum pernah terlihat oleh mata, belum terdengar oleh telinga, dan belum terlintas dalam benak manusia. Semoga Allah menjadikan kita termasuk di antara penduduk surga-Nya.
1. Beriman dan beramal salih
Allah ta’ala berfirman,
“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih bahwasanya mereka akan mendapatkan balasan berupa surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai…” (Qs. al-Baqarah: 25)
Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan,
“Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (Qathfu al-Jani ad-Dani karya Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 47)
al-Baghawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu bahwa yang dimaksud amal salih adalah mengikhlaskan amal. Maksudnya adalah bersih dari riya’. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Amal salih adalah yang di dalamnya terdapat empat unsur: ilmu, niat yang benar, sabar, dan ikhlas.” (Ma’alim at-Tanzil [1/73] as-Syamilah)
2. Bertakwa
Allah ta’ala berfirman,
“Bagi orang-orang yang bertakwa terdapat balasan di sisi Rabb mereka berupa surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, begitu pula mereka akan mendapatkan istri-istri yang suci serta keridhaan dari Allah. Allah Maha melihat hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ali Imran: 15)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menguraikan jati diri orang bertakwa. Mereka itu adalah orang-orang yang bertakwa kepada Rabb mereka. Mereka menjaga diri dari siksa-Nya dengan cara melakukan apa saja yang diperintahkan Allah kepada mereka dalam rangka menaati-Nya dan karena mengharapkan balasan/pahala dari-Nya. Selain itu, mereka meninggalkan apa saja yang dilarang oleh-Nya juga demi menaati-Nya serta karena khawatir akan tertimpa hukuman-Nya (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 119 cet Dar al-’Aqidah 1423 H).
Termasuk dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang (lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah, hal. 68 cet. Dar Ibnu ‘Affan 1424 H)
an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, salah satu faktor pendorong untuk bisa menumbuhkan ketakwaan kepada Allah adalah dengan senantiasa menghadirkan keyakinan bahwasanya Allah selalu mengawasi gerak-gerik hamba dalam segala keadaannya (Syarh al-Arba’in, yang dicetak dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 142 cet Markaz Fajr dan Ulin Nuha lil Intaj al-I’lami)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah memaparkan bahwa keberuntungan manusia itu sangat bergantung pada ketakwaannya. Oleh sebab itu Allah memerintahkan (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu beruntung. Dan jagalah dirimu dari api neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Ali Imron: 130-131). Cara menjaga diri dari api neraka adalah dengan meninggalkan segala sesuatu yang menyebabkan terjerumus ke dalamnya, baik yang berupa kekafiran maupun kemaksiatan dengan berbagai macam tingkatannya. Karena sesungguhnya segala bentuk kemaksiatan -terutama yang tergolong dosa besar- akan menyeret kepada kekafiran, bahkan ia termasuk sifat-sifat kekafiran yang Allah telah menjanjikan akan menempatkan pelakunya di dalam neraka. Oleh sebab itu, meninggalkan kemaksiatan akan dapat menyelamatkan dari neraka dan melindunginya dari kemurkaan Allah al-Jabbar. Sebaliknya, berbagai perbuatan baik dan ketaatan akan menimbulkan keridhaan ar-Rahman, memasukkan ke dalam surga dan tercurahnya rahmat bagi mereka (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/164] cet Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengimbuhkan, bahwa tercakup dalam ketakwaan -bahkan merupakan derajat ketakwaan yang tertinggi- adalah dengan melakukan berbagai perkara yang disunnahkan (mustahab) dan meninggalkan berbagai perkara yang makruh, tentu saja apabila yang wajib telah ditunaikan dan haram ditinggalkan (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan riwayat dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Mu’adz ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Maka beliau menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan, peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah.” al-Hasan mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa ketakwaan bukanlah menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang wajib. Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.” Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, serta kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.” (dinukil dari Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Pokok dan akar ketakwaan itu tertancap di dalam hati. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pada hakikatnya ketakwaan yang sebenarnya itu adalah ketakwaan dari dalam hati, bukan semata-mata ketakwaan anggota tubuh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu dikarenakan barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu semua muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (Qs. al-Hajj: 32). Allah juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah -hewan kurban itu-, akan tetapi yang akan sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari kalian.” (Qs. al-Hajj: 37). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketakwaan itu sumbernya di sini.” Seraya beliau mengisyaratkan kepada dadanya (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).” (al-Fawa’id, hal. 136 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H)
Namun, perlu diingat bahwa hal itu bukan berarti kita boleh meremehkan amal-amal lahir, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Petunjuk yang paling sempurna adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, beliau adalah orang yang telah menunaikan kedua kewajiban itu -lahir maupun batin- dengan sebaik-baiknya. Meskipun beliau adalah orang yang memiliki kesempurnaan dan tekad serta keadaan yang begitu dekat dengan pertolongan Allah, namun beliau tetap saja menjadi orang yang senantiasa mengerjakan sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. Bahkan beliau juga rajin berpuasa, sampai-sampai dikatakan oleh orang bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berjihad di jalan Allah. Beliau pun berinteraksi dengan para sahabatnya dan tidak menutup diri dari mereka. Beliau sama sekali tidak pernah meninggalkan amalan sunnah dan wirid-wirid di berbagai kesempatan yang seandainya orang-orang yang perkasa di antara manusia ini berupaya untuk melakukannya niscaya mereka tidak akan sanggup melakukan seperti yang beliau lakukan. Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menunaikan syari’at-syari’at Islam dengan perilaku lahiriyah mereka, sebagaimana Allah juga memerintahkan mereka untuk mewujudkan hakikat-hakikat keimanan dengan batin mereka. Salah satu dari keduanya tidak akan diterima, kecuali apabila disertai dengan ‘teman’ dan pasangannya…” (al-Fawa’id, hal. 137 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H)
3. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Allah ta’ala berfirman,
“Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (Qs. an-Nisa’: 13)
Allah ta’ala berfirman tentang mereka,
“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman itu ketika diseru untuk patuh kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul itu memutuskan perkara di antara mereka maka jawaban mereka hanyalah, ‘Kami dengar dan kami taati’. Hanya mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. an-Nur: 51)
Allah ta’ala menyatakan,
“Barang siapa taat kepada Rasul itu maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (Qs. An-Nisaa’ : 80)
Allah ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (Qs. al-Anfal: 24)
Ketika menjelaskan kandungan pelajaran dari ayat ini, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanyalah bisa digapai dengan memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang tidak muncul pada dirinya istijabah/sikap memenuhi dan mematuhi seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun sebenarnya dia masih memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya antara dia dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan pada diri orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka masih hidup. Oleh karena itulah maka orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna di antara mereka dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barang siapa yang luput darinya sebagian darinya maka itu artinya dia telah kehilangan sebagian unsur kehidupan, dan di dalam dirinya mungkin masih terdapat kehidupan sekadar dengan besarnya istijabahnya terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-’Aqidah)
4. Cinta dan Benci karena Allah
Allah ta’ala berfirman,
“Tidak akan kamu jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang kepada orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya meskipun mereka itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, maupun sanak keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang ditetapkan Allah di dalam hati mereka dan Allah kuatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah, ketahuilah sesungguhnya hanya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. al-Mujadalah: 22)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang mencintai karena Allah. Membenci karena Allah. Memberi karena Allah. Dan tidak memberi juga karena Allah. Maka sungguh dia telah menyempurnakan imannya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [10/181] as-Syamilah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua dan anak-anaknya.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ciri keimanan yaitu mencintai kaum Anshar, sedangkan ciri kemunafikan yaitu membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari)
5. Berinfak di kala senang maupun susah
Allah ta’ala berfirman,
“Bersegeralah menuju ampunan Rabb kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya di kala senang maupun di kala susah, orang-orang yang menahan amarah, yang suka memaafkan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri maka mereka pun segera mengingat Allah lalu meminta ampunan bagi dosa-dosa mereka, dan siapakah yang mampu mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka juga tidak terus menerus melakukan dosanya sementara mereka mengetahuinya.” (Qs. Ali Imron: 133-135)
Membelanjakan harta di jalan Allah merupakan ciri orang-orang yang bertakwa. Allah ta’ala berfirman,
“Alif lam mim. Ini adalah Kitab yang tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada perkara gaib, mendirikan sholat, dan membelanjakan sebagian harta yang Kami berikan kepada mereka.” (Qs. al-Baqarah: 1-3)
Syaikh as-Sa’di memaparkan, infak yang dimaksud dalam ayat di atas mencakup berbagai infak yang hukumnya wajib seperti zakat, nafkah untuk istri dan kerabat, budak, dan lain sebagainya. Demikian juga ia meliputi infak yang hukumnya sunnah melalui berbagai jalan kebaikan. Di dalam ayat di atas Allah menggunakan kata min yang menunjukkan makna sebagian, demi menegaskan bahwa yang dituntut oleh Allah hanyalah sebagian kecil dari harta mereka, tidak akan menyulitkan dan memberatkan bagi mereka. Bahkan dengan infak itu mereka sendiri akan bisa memetik manfaat, demikian pula saudara-saudara mereka yang lain. Di dalam ayat tersebut Allah juga mengingatkan bahwa harta yang mereka miliki merupakan rezki yang dikaruniakan oleh Allah, bukan hasil dari kekuatan mereka semata. Oleh sebab itu Allah memerintahkan mereka untuk mensyukurinya dengan cara mengeluarkan sebagian kenikmatan yang diberikan Allah kepada mereka dan untuk berbagi rasa dengan saudara-saudara mereka yang lain (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [1/30] cet. Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
6. Memiliki hati yang selamat
Allah ta’ala berfirman,
“Pada hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat lagi harta dan keturunan, melainkan bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Qs. as-Syu’ara: 88-89)
Abu Utsman an-Naisaburi rahimahullah mengatakan tentang hakikat hati yang selamat, “Yaitu hati yang terbebas dari bid’ah dan tenteram dengan Sunnah.” (disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya [6/48] cet Maktabah Taufiqiyah)
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa hakikat hati yang selamat itu adalah, “Hati yang bersih dari syirik dan keragu-raguan. Adapun dosa, maka tidak ada seorang pun yang bisa terbebas darinya. Ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir.” (Ma’alim at-Tanzil [6/119], lihat juga Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari [19/366] as-Syamilah)
Imam al-Alusi rahimahullah juga menyebutkan bahwa terdapat riwayat dari para ulama salaf seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibnu Sirin, dan lain-lain yang menafsirkan bahwa yang dimaksud hati yang selamat adalah, “Hati yang selamat dari penyakit kekafiran dan kemunafikan.” (Ruh al-Ma’ani [14/260] as-Syamilah)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pengertian paling lengkap tentang makna hati yang selamat itu adalah hati yang terselamatkan dari segala syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya. Hati yang bersih dari segala macam syubhat yang bertentangan dengan berita dari-Nya. Oleh sebab itu, hati semacam ini akan terbebas dari penghambaan kepada selain-Nya. Dan ia akan terbebas dari tekanan untuk berhukum kepada selain Rasul-Nya…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati yang selamat artinya yang bersih dari: kesyirikan, keragu-raguan, mencintai keburukan, dan terus menerus dalam bid’ah dan dosa-dosa. Konsekuensi bersihnya hati itu dari apa-apa yang disebutkan tadi adalah ia memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengannya. Berupa keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kebaikan dan memandang indah kebaikan itu di dalam hati, dan juga kehendak dan kecintaannya pun mengikuti kecintaan Allah, hawa nafsunya tunduk mengikuti apa yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 592-593 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan karakter si pemilik hati yang selamat itu, “… apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya karena Allah. Apabila dia memberi maka juga karena Allah. Apabila dia mencegah/tidak memberi maka itupun karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)